حديث الْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ HADITS TONGKRONG DIJALAN JALAN
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ r قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ .
{البخاري - (ج 8 / ص 351)}
Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ))، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: ((فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا))، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ، قَالَ: ((غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ)).
“Janganlah kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan,” mereka (para sahabat) berkata,”Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang.” Beliau berkata,”Jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut,” mereka bertanya,”Apa hak jalan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Menundukkan (membatasi) pandangan, tidak mengganggu (menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”.
TAKHRIJ PENGELUARAN HADITS
Muttafaun ‘alaihi. Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya (di kitab Fathul Bari) di kitab al Mazhalim wal Ghashab, hadits no. 2465 dan di kitab al Isti’dzan, hadits no. 6229; Muslim dalam Shahih-nya (dengan syarah an Nawawi) di kitab al Libaas waz Ziinah, hadits no. 2121 dan di kitab as Salam, hadits no. 2161.
BIOGRAFI PERAWI HADITS
Abu Sa’id Al Khudri Radhiyalllahu 'anhu. Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin ‘Ubaid dari Bani Khudrah -al Abjar- bin ‘Auf al Khazraji al Anshari, lebih dikenal dengan sebutan Abu Sa’id al Khudri. Dilahirkan di kota Madinah. Beliau dan ayahnya termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.
Pada saat terjadi peperangan Uhud, beliau masih kecil, sehingga tidak dapat ikut serta dalam peperangan, namun ayahnya, Malik bin Sinan mengikutinya dan mati syahid dalam peperangan tersebut.
Setelah perang Uhud, beliau ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam 12 peperangan dimulai dari perang Khandak. Beliau salah satu ulama dan fuqaha para sahabat, banyak mendengar dan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari beberapa sahabat lain.
Beliau wafat di Madinah pada tahun 74 H, atau ada pula yang menyebutkan beliau wafat 10 tahun sebelumnya, yaitu antara tahun 63-65H. Wallahu a’lam.
{Lihat Kitab al Ishabah : 3/66. Al Bidayah wan Nihayah : 9/4. Dan Al Taqrib, hlm. 232 urutan no. 2253).
MAKNA TEKS HADITS SECARA RINGKAS
Suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjalan melewati beberapa orang sahabat yang sedang duduk-duduk di pekarangan rumah salah seorang dari mereka. Di antara mereka adalah Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur mereka agar tidak melakukan hal itu. Namun para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa mereka perlu duduk-duduk untuk memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada mereka, bahwa jika memang hal itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka mereka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu, (pertama), menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan); (kedua), tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan; (ketiga), menjawab salam; (keempat), memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar.
SANAD KEDUDUKAN HADITS
Al Imam an Nawawi Al Syafi'i berkata :
Hadits ini banyak mengandung pelajaran yang penting dan termasuk di antara sederetan hadits-hadits jami’ (yang ringkas tetapi penuh makna), lagi jelas hukum-hukumnya.”
[Lihat Syarh Shahih Muslim Imam Nawawi : 14/86].
MAKNA PENJELASAN DAN FAIDAH-FAIDAH HADITS
• Kata-kata (إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ...) metode seperti ini, biasanya digunakan untuk memberi peringatan sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya sama dengan melarangnya. Jadi maknanya adalah “jauhilah oleh kalian hal tersebut” atau “janganlah kalian melakukan hal itu”. Seperti dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ((إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ)) yang artinya [1], “jauhilah perkataan dusta” atau “janganlah kalian berdusta”.
Tapi apakah suatu perintah itu harus berarti wajib, atau apakah suatu larangan harus berarti haram? Kita akan simak jawabannya pada penjelasan berikutnya dalam tulisan ini.
• Kata (الطُّرُقَات) adalah bentuk jamak dari (الطُّرُق), sedangkan (الطُّرُق) adalah bentuk jamak dari (الطَّرِيق) yang artinya adalah jalan.
Al Imam al Bukhari menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab al Mazhalim dengan ungkapan (الصُّعُدَات) guna menunjukkan kesamaan makna antara keduanya. Hal itu dikuatkan oleh hadits Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu dalam Shahih Muslim, hadits no. 2161 ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengungkapkan dengan kata (الصُّعُدَات) dan Imam Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab as Salam dengan kata (الطَّرِيقِ).
Kemudian Imam al Bukhari -dalam judul bab yang sama di kitab al Mazhalim- menyebutkan kata (أَفْنِيَة الدُّورِ), yang artinya adalah pekarangan (halaman rumah), guna menunjukkan kesamaan hukumnya dengan jalanan (selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan biasa dilewati oleh orang banyak).
Dan itu didukung dengan hadits Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Muslim, ketika Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu berkata:
((كُنَّا قُعُودًا بِالأَفْنِيَةِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ فَقَالَ: مَالَكُمْ وَلِمَجَالِسِ الصُّعُدَاتِ))
“Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman (pekarangan rumah), lalu datanglah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata,’Kenapa kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan?’.”
Sa’id bin Manshur menambahkan –dengan menukil- dari Mursal Yahya bin Ya’mur ungkapan berikut:
((فَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ النَّارِ))
Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka.
[Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al Bukhariy : 11/12-13].
Itulah alasan kenapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mereka duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya.
Termasuk pula warung-warung dan balkon-balkon yang tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat.
[Lihat Fathul Bari Syarhu Shahihu Al Bukhariy : 5/135].
• Perkataan para sahabat “sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang”.
Dalam riwayat Muslim (hadits no. 2161) dari hadits Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu terdapat tambahan kata-kata “dan untuk saling mengingatkan (menasihati)”. Dan dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut adalah Abu Thalhah Radhiyallahu 'anhu.
[Lihat Fathul Bari Syarhu Shahih Al Bukhariy : 5/135].
Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Malikiy berkata :
Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka itu tidak untuk kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar: “Namun, ada kemungkinan bahwa mereka mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut) untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yahya bin Ya’mur, di sana terdapat kata-kata ‘maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan (kewajiban)’.”
[Lihat Kitab Fathul Bari Syarhu Shahihu Al Bukhariy : 11/13].
• Perkataan “jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut”.
Ibnu Hajar berkata,”Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya, Pen.) dalam hadits ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang wajib ia penuhi”.
[Lihat Fathul Bari Syarhu Shahihu Al Bukhariy : 5/135].
Imam an Nawawi rahimahullah berkata, “… dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan”.
[Lihat Kitab Syarh Shahih Muslim : 14/120].
• Perkataan “(hak jalan adalah) ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan), kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”.
Ibnu Hajar Al Asqalaniy rahimahullah berkata :
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang lainnya. Menyebutkan kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‘menjawab salam’ untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal ‘memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran’ untuk mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari’atkan dan meninggalkan apa yang tidak disyari’atkan.”
Beliau melanjutkan,”Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat bahwa saddudz dzara-i (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadits ini), pertama kali yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan “kami perlu duduk-duduk”, barulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan tujuan pokok dari larangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa ‘mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan’.”
[Lihat kitab Fathul Bari Syarhu Shahihu Al Bukhariy : 5/135].
Imam an Nawawi rahimahullah berkata,”Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan tentang alasan larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa ketika ada para wanita (yang bukan mahramnya) atau selainnya yang melintasi mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang ke arah wanita-wanita tersebut (secara bebas), atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanita-wanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat. Dan di antara bentuk mengganggu atau menyakiti manusia adalah menghina (mengejek) orang yang lewat, berbuat ghibah (menggunjingya) atau yang lainnya, atau terkadang tidak menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta alasan-alasan lainnya yang bila dia berada di rumah dapat selamat dari hal-hal seperti itu. Termasuk menyakiti (orang lain) pula bila mempersempit jalan orang-orang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita, atau yang lainnya yang ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-orang yang duduk di tepi jalanan…”
[Lihat Syarah Shahih Muslim, 14/120].
• Tentang “menundukkan (menahan pandangan)”, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغُضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ .....
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Dan katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya …”
[an Nur : 30-31].
Mabruk pak yai
BalasHapus